1.
JUDUL PROPOSAL PENELITIAN : Analisis Yuridis terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jepara
dalam Perkara Tindak Pidana Perkosaan yang Dilakukan oleh Anak.
2.
PELAKSANA
a. Nama :
b. NIM :
c. Jumlah SKS : 131 SKS
d. IP Kumulatif : 2. 55
3.
DOSEN PEMBIMBING : Subaidah Rama Juita. S.H.,M.H
4.
LATAR BELAKANG PENELITIAN
Masalah kenakalan anak dewasa ini tetap merupakan persoalan
yang aktual hampir di semua negara di dunia, termasuk di Indonesia.
Di Indonesia, masalah kenakalan anak
dirasa telah mencapai tingkat yang cukup meresahkan bagi masyarakat. Kondisi
ini memberi dorongan kuat kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab mengenai
masalah ini seperti kelompok edukatif di lingkungan sekolah, kelompok hakim dan
jaksa di bidang penyuluhan dan penegakan kehidupan kelompok. Demikian juga
pemerintah sebagai pembentuk kebijakan umum dalam pembinaan, penciptaan, dan
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Faktor lain yang tidak dapat
dikesampingkan pula adalah peranan rnasyarakat dan keIuarga di dalam menunjang
hal ini.
Kenakalan anak-anak yang terkadang
dianggap wajar ternyata tidak jarang menyebabkan anak-anak tersebut melakukan
tindak kejahatan yang melanggar hukum di usia yang masih sangat belia.
Kenakalan yang dilakukan bukan hanya kenakalan yang biasa akan tetapi sudah
menjurus kepada kejahatan terhadap kesusilaan.
Salah satu kejahatan terhadap
kesusilaan yang ada pada akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan adalah tindak
pidana perkosaan, Masalah tindak pidana perkosaan telah menjadi bahan
pembicaraan, baik dikalangan para ahli hukum, maupun di dalam masyarakat, atau
di lingkungan para wanita. Perhatian masyarakat mungkin disebabkan karena
tindak pidana tersebut dilakukan dengan cara-cara yang keji, di luar
perikemanusiaan dan tidak berdiri sendiri. Menurut Romli Atmasasmita, “di dunia
manapun, pekosaan (rape) ini biasanya memang dikategorikan sebagai
tindak asusila yang ditabukan dan dikutuk keras serta dinilai merupakan pelanggaran
moral yang paling buruk.”
Perkosaan diklasifikasikan sebagai
salah satu bentuk kejahatan di Indonesia, bahkan di dunia, dan pelakunya
diancam dengan sanksi pidana yang cukup berat Antisipasi atas tindak pidana
perkosaan diantaranya dengan menggunakan instrumen hukum pidana secara efektif
melalui penegakan hukum dan diupayakan perilaku yang melanggar hukum
ditanggulangi secara preventif dan represif. Sesuai dengan sifat dari hukum
pidana yang memaksa dan dapat dipaksakan, maka setiap perbuatan yang melawan
hukum itu dapat dikenakan penderitaan yang berupa hukuman. Hukuman yang
baik tidak hanya tergantung pada asas-asas, sistematika perumusan pasal-pasal,
dan sanksi-sanksi yang ada, melainkan juga tergantung pada tata pelaksanaan
serta pada manusianya sebagai pelaksana dan pendukung dari hukum itu sendiri,
Oleh karena itu, peranan aparat penegak hukum dalam mengungkap dan
rnenyelesaikan kasus tindak pidana perkosaan dituntut profesional yang disertai
kematangan intelektual dan intergritas moral yang tinggi, Hal tersebut
diperlukan agar proses peradilan dalam menyelesaikan kasus tindak pidana
perkosaan dapat memperoleh keadilan dan pelaku dikenai sanksi pidana
seberat-beratnya Karena telah merusak masa depan si korban bahkan dapat
menimbulkan akibat buruk pada psikologis perkembangan hidupnya
Permasalahan yang muncul selanjutnya
adalah bagaimana jika pelaku tersebut adalah seorang anak, karena tindak pidana
perkosaan tersebut saat ini tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa saja,
melainkan juga telah dilakukan oleh anak-anak. Apakah mungkin anak yang
melakukan tindak pidana perkosaan perlu diberikan sanksi pidana
seberat-beratnya?
Dalam perkembangan masyarakat seperti
saat ini, pengaruh budava di luar sistem masyarakat sangat mempengaruhi
perilaku anggota masyarakat itu sendiri, terutama anak-anak, lingkungan
khususnya lingkungan sosial, mempunyai peranan yang sangat besar terhadap
pembentukan perilaku anak-anak, termasuk perilaku jahat anak yang melakukan
tindak pidana perkosaan.
Penelitian ini akan membahas lebih
lanjut mengenai kinerja hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak yang
melakukan tindak pidana perkosaan. Hakim sebagai bagian dari lembaga peradilan
berperan sangat penting demi tegaknya supremasi hukum. Bukan itu saja, hakim
juga dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia bagi orang-orang yang ingin mencari
kebenaran dan keadilan.
Berdasarkan latar belakang yang telah
dikemukakan maka penulis tertarik untuk meneliti tentang putusan hakim yang
diberi judul: “Analisis Yuridis terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jepara dalam
Perkara Tindak Pidana Perkosaan yang Dilakukan oleh Anak”.
5.
PERUMUSAN MASALAH
Berpijak dari latar belakang penelitian sebagaimana telah diuraikan di
atas, dalam penelitian ini pokok permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut
dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimana
analisis yuridis putusan hakim PN Jepara tentang penerapan pasal dalam perkara
tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh anak?
2.
Apa
yang menjadi dasar pertimbangan hakim PN Jepara dalam menjatuhkan sanksi pidana
terhadap anak yang melakukan tindak pidana perkosaan?
6.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
a.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan pokok permasalahan di atas, maka penulis
menetapkan tujuan penelitian sebagai berikut:
1)
Untuk
mengetahui putusan hakim PN Jepara tentang penerapan pasal dalam perkara tindak
pidana perkosaan yang dilakukan oleh anak.
2)
Untuk
mengetahui dasar pertimbangan hakim PN Jepara dalam menjatuhkan sanksi pidana
terhadap anak yang melakukan tindak pidana perkosaan
b.
Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat
memberikan manfaat, baik manfaat secara teoritis maupun secara praktis.
1)
Manfaat
teoritis,
Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan
sebagai bahan kajian Iebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah, yang
diharapkan dapat memberikan perkembangan bagi pengembangan hukum pidana Indonesia,
khususnya di bidang konsepsi pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak
pidana perkosaan. Dengan kata lain, temuan dan penelitian ini diharapkan dapat
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan
koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran yang menyoroti dan
membahas tentang pemidanaan sebagai upaya perlindungan terhadap anak yang
melakukan tindak pidana perkosaan.
2)
Manfaat
praktis,
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan:
a)
sebagai
bahan kajian dan masukan bagi semua komponen dalam merumuskan model kebijakan
hukum pidana yang integral dan komprehensif, khususnya yang menyangkut tentang
konsepsi pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana perkosaan.
b)
Sebagai
bahan kajian dan masukan bagi pemerintah selaku pengambil kebijakan dalam
melakukan upaya legislatif administratif, sosial dan pendidikan terhadap anak
guna mencegah anak menjadi pelaku tindak pidana perkosaan.
c)
Sebagai
bahan kajian dan masukan bagi aparat penegak hukum dalam menerapkan hukum di
pengadilan (judge mode law) terhadap anak yang melakukan tindak pidana
perkosaan.
7.
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGICA TEORI
1)
Tinjauan tentang Putusan Pengadilan
a.
Pengertian Putusan Pengadilan
Pentingnya pengertian putusan pengadilan diberikan dalam
pembahasan ini adalah untuk sekedar membantu dalam menentukan secara jelas batas-batas
yang dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan cara
pandang. Menurut ketentuan Pasal 1 butir 11 KUHAP, menyatakan bahwa putusan
pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan
terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan
hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Berdasar sejauh mana suatu perkara diperiksa oleh hakim, maka menurut
Pasal 182 ayat (3) dan ayat (8) KUHAP terdapat dua jenis putusan:
a)
Putusan
akhir, yaitu putusan yang dijatuhkan hakim dalam perkara yang bersangkutan,
diperiksa sampai dengan selesai materi perkaranya.
b)
Putusan
sela, yaitu putusan yang dijatuhkan hakim apabila perkara yang diperiksa belum
memasuki materinya.
Kaitannya dalam penelitian ini, jenis
putusan yang dibahas adalah putusan akhir. Mengenai putusan akhir, putusan ini
bersifat mengakhiri perkara dan menentukan status terdakwa selanjutnya. Putusan
akhir ini baru dapat dijatuhkan oleh hakim setelah seluruh rangkaian
pemeriksaan dipersidangan selesai. Suatu perkara pidana setelah dilakukan pembuktian,
tuntutan pidana, pembelaan, replik dan duplik maka hakim harus dapat memberikan
putusan setelah musyawarah.
b.
Bentuk-bentuk Putusan Pengadilan
Ada 3 (tiga) bentuk putusan pengadilan yang diatur dalam
KUHAP yakni pada Pasal 191 dan Pasal 193 yaitu:
a)
Putusan
bebas,
Putusan bebas adalah putusan yang dijatuhkan hakim kepada
terdakwa apabila dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Menurut
Lilik Mulyadi, pada asasnya, esensi putusan bebas terjadi karena terdakwa
dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana didakwakan Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwaan.
b)
Putusan
lepas dan segala tuntutan hukum,
Dasar hukum dari putusan ini rival
dilihat pada Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas
dari segala tuntutan hukum”. Dari bunyi di atas, dapat diartikan bahwa putusan
hakim berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang
dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan di sidang
pengadilan temyata menurut pendapat majelis hakim perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana.
c)
Putusan
pemidanaan.
Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang
berbunyi: “Jika Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.
Selanjutnya apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim telah yakin
berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa
terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan.
c.
Teori-teori Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan terhadap
Terdakwa
Tugas hakim selain bersifat praktis rutin, juga bersifat
ilmiah. Sifat tugas hakim yang demikian ini, membawa konsekuensi bahwa hakim harus
selalu mendalami perkembangan ilmu hukum dan kebutuhan hukum masyarakat. Dengan
cara itu, akan memantapkan pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar penyusunan
putusannya. Dengan cara ini pula hakim dapat berperan aktif dalam reformasi
hukum yang sedang dituntut oleh masvarakat saat
Pertimbangan hakim itu dapat berupa hal
yang telah diatur dalam KUHP maupun berdasarkan hal-hal lain yang tidak diatur
dalam KUHP. Perihal yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara
di luar KUHP dapat berupa penilaian lain yang sifatnya mengacu pada kebijakan
kemanusiaan atau hal lain yang karena sifatnya dapat meringankan atau
mernberatkan terdakwa dalam penjatuhan sanksi.
Selain itu, sebuah putusan hukum
dalam kasus-kasus pidana tidak semata-mata disebabkan oleh perbuatan jahat
pelaku, tetapi juga untuk melindungai masyarakat. Dengan adanva kejadian
tersebut, timbul pertanyaan dalam pemikiran kita mengenai faktor-faktor apa
sajakah yang menjadi pertimbangan hakim dalam menemukan berat ringannya pidana
yang dijatuhkan.
a)
Teori
absolut atau teen pembalasan (retributive/ vergeldings theorieen),
Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari
pidana terletak pada adanva atau terjadinya kejahatan itu sendiri
b)
Teori
relatif atau teori tujuan (utilitarian/duel theorieen)
Dasar dari pemidanaan pada teori ini adalah agar orang
tersebut setelah dipidana dapat menjadi lebih baik dan berguna bagi masyarakat.
c) Teori gabungan
Menurut teori ini,
tujuan pemidanaan itu mencakup baik pembalasan maupun penjeraan dan pencegahan
sekaligus juga untuk memperbaiki mentalitas si pelaku tindak pidana. Sehingga
tujuan pemidanaan dari teori ini, selain disebabkan orang telah melakukan
perbuatan pidana, juga supaya orang jangan sampai melakukan perbuatan pidana.
Jadi pada hakikatnya, ketiga teori
Mengenai tujuan pemidanaan tersebut bertujuan untuk menciptakan
ketertiban, memberikan rasa keadilan, serta mengatur hubungan baik antar
individu dalam masyarakat agar dapat hidup dinamis, aman, tenteram, tertib, dan
damai.
Selanjutnya, hal-hal yang menjadi
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa sebagaimana
telah dikemukakan di atas, dapat berupa hal yang telah diatur dalam KUHP maupun
berdasarkan hal-hal lain yang tidak diatur dalam KUHP.
2)
Tinjauan tentang Tindak Pidana Perkosaan
a. Pengertian Tindak Pidana Perkosaan
Kata perkosaan (rape)
berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa,
merampas, atau membawa pergi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun
oleh Poerwadarminta, pengertian perkosaan dilihat dari etiologi/asal kata dapat
diuraikan sebagai berikut:
Perkosa : gagah; paksa; kekerasan; perkasa.
Memperkosa : rnenundukkan dan sebagainya dengan kekerasan;
Dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana perkosaan adalah suatu interaksi,
yaitu hubungan kelamin (penetrasi) yang dilakukan seorang laki-laki terhadap
seorang wanita yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman, dimana perbuatan
tersebut telah diatur dalam perundang-undangan sebagai suatu tindak pidana dan
kepadanya dapat dijatuhi hukurnan
b.
Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan
Secara yuridis tindak pidana perkosaan dirumuskan dalam Pasal
285 KUHP. Di dalam Pasal 285 KUHP tersebut disebutkan bahwa: “barangsiapa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh
dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun”.
Pembicaraan mengenai tindak pidana perkosaan dihadapkan pada
batasan undang-undang tentang perkosaan yang mencerminkan budaya dominasi pria
terhadap wanita. Hal ini membawa implikasi dalam upaya perlindungan terhadap
korban. Undang-undang yang ada sekarang dinilai lebih melindungi kepentingan
pria dibandingkan wanita sebagai korban. Pendapat seperti ini muncul karena di
dalam undang-undang mensyaratkan terjadinya perkosaan dengan adanya penetrasi
vagina dari pelaku. Sementara itu perbuatan pelaku dengan memaksakan hubungan
anal dan oral serta memasukkan benda-benda lain seperti jari atau botol ke
dalam vagina tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perkosaan.
Di dalam RUU KUHP tersebut juga dirumuskan bahwa dianggap
melakukan tindak pidana perkosaan:
a)
Seorang
laki-laki memasukkan alai kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan,
b)
Barang
siapa memasukkan benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina
atau anus seorang perempuan.
Berdasarkan rumusan tindak pidana
perkosaan dalam RUU KUHP tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perkosaan
adalah tindakan pemaksaan hubungan seksual dari laki-laki kepada perempuan.
Pemaksaan hubungan seksual tersebut dapat berupa ancaman secara fisik maupun
secara psikologis. Hubungan seksual antara pelaku dan korban tidak hanya berupa
penetrasi vaginal, akan tetapi meliputi pemaksaan hubungan secara anal dan
oral.
c.
Unsur-unsur Tindak Pidana Perkosaan
Di dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: “barangsiapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia
di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun”. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, perkosaan
disini digolongkan sebagai tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh lakilaki
(male crime) terhadap wanita yang bukan istrinya (exstra marital
crime) dan persetubuhannya pun harus bersifat intravaginal coitus.
3)
Tinjauan tentang Anak
a.
Pengertian Anak
Sebelum membahas tentang anak sebagai pelaku tindak pidana perkosaan
haruslah dahulu mengetahui pengertian anak. Berbicara masalah pengertian anak
tentu saja tidak akan lepas dari pembahasan tentang batas umur anak (batas umur
untuk disebut seorang anak). Pembicaraan pengertian anak yang menyangkut batas
usia anak ini penting, karena untuk mengetahui bilamana seseorang dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau di ancam dengan pidana atau
tindakan tertentu.
Mengenai batas umur dan istilah
seorang anak masih ada ketidakseragaman pendapat, baik dari beberapa pakar
maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8.
METODE PENELITIAN
1)
Metode Pendekatan
Berdasarkan masalah yang akan diteliti, metode pendekatan yang dipakai
dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum normatif (yuridis normatif), yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti atau mempelajari masalah
dilihat dan segi aturan hukumnya, meneliti bahan pustaka atau data sekunder5.
Sebagai suatu penelitian hukum
normatif, penelitian ini akan menelaah kerangka pikir untuk menjelaskan
konsepsi pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana perkosaan baik
yang diatur dalam KUHP maupun dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak serta Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
2)
Spesifikasi Penelitian
Deskriptif dalam penelitian maksudnya untuk memberikan gambaran secara rinci,
sistematis dan menyeluruh mengenai segala hal, khususnya yang berkaitan dengan
putusan hakim terhadap tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh anak di
wilayah hukum PN Jepara.
Sedangkan analitis mengandung makna
mengelompokkan, menghubungkan, menjelaskan dan memberi makna pada pokok
permasalahan yang akan dianalisis sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas
terhadap permasalahan tersebut.
3)
Metode Penentuan Sampel
Sebelum menentukan metode penentuan
sampel dalam suatu proses penelitian, maka haruslah terlebih dahulu mengetahui
populasi yang akan diteliti dalam proses penelitian tersebut.
Berdasarkan pengertian tentang
populasi maka populasi dalam penelitian ini adalah pasal-pasal dalam peraturan
perundang-undangan, khususnya dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), Undang-Undang RI No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan
Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana peraturan
perundang-undangan tersebut merupakan dasar hukum yang rnengatur tentang
perkara pidana anak yang melakukan tindak pidana perkosaan.
Dalarn penelitian ini tidak semua
populasi sebagaimana disebutkan di atas akan diteliti, namun akan diambil
sampelnya. Sampel adalah sebagian individu atau wakil populasi yang diteliti
berdasarkan pada asumsi bahwa sumber informan tersebut memahami permasalahan penelitian
yang telah ditetapkan. Pemilihan sampel representatif diperlukan suatu metode
penentuan sampel. Hal ini bertujuan untuk menentukan bagian-bagian yang akan
diteliti atau yang mewakili populasi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut,
maka sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah beberapa putusan PN Jepara
dalam perkara tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh anak, dengan
ketentuan bahwa putusan-putusan pengadilan dalam perkara tersebut telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (inicrachi). Selanjutnya, pihak yang
menjadi responden dalam penelitian ini adalah beberapa Hakim di PN Jepara, yang
dapat dimintai keterangannya tentang alasan-alasan yang dijadikan pertimbangan
oleh hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak
pidana perkosaan.
4)
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam melakukan
penelitian ini adalah:
a.
Studi kepustakaan (library research),
Studi pustaka ini dilakukan dalam rangka mengumpulkan data
sekunder, mengingat penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif, maka
sumber data utama adalah data sekunder. Data sekunder adalah suatu data yang
bersumber dari penelitian kepustakaan, yaitu data yang diperoleh tidak secara
langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah
terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum.
b.
Wawancara (Interview)
Wawancara ini dilakukan dalam rangka
mengumpulkan data primer melalui para responden sebagai data penunjang. Data
primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan, yaitu suatu data
yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan (field research), baik
dari responden maupun informan.
Jenis wawancara yang digunakan adalah
wawancara terstruktur, yaitu wawancara yang didasarkan pada teks dan
aturan-aturan dasar yang ada baik secara formil maupun materil, dan berdasarkan
permasalahan-permasalahan yang terjadi di lapangan. Agar hasil wawancara
nantinya memiliki nilai validitas dan reabilitas, dalam berwawancara peneliti
menggunakan alat berupa pedoman wawancara atau interview guide.
c.
Studi dokumentasi
Studi dokumentasi yang dilaksanakan merupakan upaya
memperoleh bahan-bahan langsung berupa dokumentasi dari instansi pemerintah
yang berwenang dengan pelaksanaan penjatuhan pidana terhadap anak yang
melakukan tindak pidana perkosaan, yakni Pengadilan Negeri Jepara. Hal ini
dilakukan oleh karena kemungkinan besar tidak semua bahan-bahan yang diperlukan
dapat diperoleh atau tersedia di perpustakaan.
5)
Metode Analisa Data
Metode analisa data adalah tahap yang penting dalam
menentukan suatu penelitian. Analisa data dalam suatu penelitian adalah
menguraikan atau memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan data yang
diperoleh kemudian diolah kedalam pokok permasalahan yang diajukan terhadap
penelitian yang bersifat deskriptif.
Metode analisa data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu cara
menganalisa data dengan mendeskripsikan dan menganalisis materi isi dan
keabsahan data hasil studi lapangan sebagai sumber data penunjang, sehingga
diperoleh gambaran tentang suatu peristiwa dalam masyarakat, dalam hal ini
adalah tentang putusan hakim terhadap anak yang melakukan tindak pidana
perkosaan di wilayah hokum Pengadilan Negeri Jepara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar