Halaman

Jumat, 15 Juni 2012

proposal


1.      JUDUL PROPOSAL PENELITIAN : Analisis Yuridis terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jepara dalam Perkara Tindak Pidana Perkosaan yang Dilakukan oleh Anak.

2.      PELAKSANA
a.    Nama                                        :
b.    NIM                                          :
c.    Jumlah SKS                              : 131 SKS
d.   IP Kumulatif                             : 2. 55

3.      DOSEN PEMBIMBING             : Subaidah Rama Juita. S.H.,M.H

4.      LATAR BELAKANG PENELITIAN
Masalah kenakalan anak dewasa ini tetap merupakan persoalan yang aktual hampir di semua negara di dunia, termasuk di Indonesia.
Di Indonesia, masalah kenakalan anak dirasa telah mencapai tingkat yang cukup meresahkan bagi masyarakat. Kondisi ini memberi dorongan kuat kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab mengenai masalah ini seperti kelompok edukatif di lingkungan sekolah, kelompok hakim dan jaksa di bidang penyuluhan dan penegakan kehidupan kelompok. Demikian juga pemerintah sebagai pembentuk kebijakan umum dalam pembinaan, penciptaan, dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Faktor lain yang tidak dapat dikesampingkan pula adalah peranan rnasyarakat dan keIuarga di dalam menunjang hal ini.
Kenakalan anak-anak yang terkadang dianggap wajar ternyata tidak jarang menyebabkan anak-anak tersebut melakukan tindak kejahatan yang melanggar hukum di usia yang masih sangat belia. Kenakalan yang dilakukan bukan hanya kenakalan yang biasa akan tetapi sudah menjurus kepada kejahatan terhadap kesusilaan.
Salah satu kejahatan terhadap kesusilaan yang ada pada akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan adalah tindak pidana perkosaan, Masalah tindak pidana perkosaan telah menjadi bahan pembicaraan, baik dikalangan para ahli hukum, maupun di dalam masyarakat, atau di lingkungan para wanita. Perhatian masyarakat mungkin disebabkan karena tindak pidana tersebut dilakukan dengan cara-cara yang keji, di luar perikemanusiaan dan tidak berdiri sendiri. Menurut Romli Atmasasmita, “di dunia manapun, pekosaan (rape) ini biasanya memang dikategorikan sebagai tindak asusila yang ditabukan dan dikutuk keras serta dinilai merupakan pelanggaran moral yang paling buruk.”
Perkosaan diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk kejahatan di Indonesia, bahkan di dunia, dan pelakunya diancam dengan sanksi pidana yang cukup berat Antisipasi atas tindak pidana perkosaan diantaranya dengan menggunakan instrumen hukum pidana secara efektif melalui penegakan hukum dan diupayakan perilaku yang melanggar hukum ditanggulangi secara preventif dan represif. Sesuai dengan sifat dari hukum pidana yang memaksa dan dapat dipaksakan, maka setiap perbuatan yang melawan hukum itu dapat dikenakan penderitaan yang berupa hukuman. Hukuman yang baik tidak hanya tergantung pada asas-asas, sistematika perumusan pasal-pasal, dan sanksi-sanksi yang ada, melainkan juga tergantung pada tata pelaksanaan serta pada manusianya sebagai pelaksana dan pendukung dari hukum itu sendiri, Oleh karena itu, peranan aparat penegak hukum dalam mengungkap dan rnenyelesaikan kasus tindak pidana perkosaan dituntut profesional yang disertai kematangan intelektual dan intergritas moral yang tinggi, Hal tersebut diperlukan agar proses peradilan dalam menyelesaikan kasus tindak pidana perkosaan dapat memperoleh keadilan dan pelaku dikenai sanksi pidana seberat-beratnya Karena telah merusak masa depan si korban bahkan dapat menimbulkan akibat buruk pada psikologis perkembangan hidupnya
Permasalahan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana jika pelaku tersebut adalah seorang anak, karena tindak pidana perkosaan tersebut saat ini tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa saja, melainkan juga telah dilakukan oleh anak-anak. Apakah mungkin anak yang melakukan tindak pidana perkosaan perlu diberikan sanksi pidana seberat-beratnya?
Dalam perkembangan masyarakat seperti saat ini, pengaruh budava di luar sistem masyarakat sangat mempengaruhi perilaku anggota masyarakat itu sendiri, terutama anak-anak, lingkungan khususnya lingkungan sosial, mempunyai peranan yang sangat besar terhadap pembentukan perilaku anak-anak, termasuk perilaku jahat anak yang melakukan tindak pidana perkosaan.
Penelitian ini akan membahas lebih lanjut mengenai kinerja hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak yang melakukan tindak pidana perkosaan. Hakim sebagai bagian dari lembaga peradilan berperan sangat penting demi tegaknya supremasi hukum. Bukan itu saja, hakim juga dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia bagi orang-orang yang ingin mencari kebenaran dan keadilan.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka penulis tertarik untuk meneliti tentang putusan hakim yang diberi judul: “Analisis Yuridis terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jepara dalam Perkara Tindak Pidana Perkosaan yang Dilakukan oleh Anak”.

5.      PERUMUSAN MASALAH
Berpijak dari latar belakang penelitian sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam penelitian ini pokok permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana analisis yuridis putusan hakim PN Jepara tentang penerapan pasal dalam perkara tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh anak?
2.      Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim PN Jepara dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana perkosaan?

6.      TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
a.      Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan pokok permasalahan di atas, maka penulis menetapkan tujuan penelitian sebagai berikut:
1)      Untuk mengetahui putusan hakim PN Jepara tentang penerapan pasal dalam perkara tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh anak.
2)      Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim PN Jepara dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana perkosaan
b.      Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat secara teoritis maupun secara praktis.
1)      Manfaat teoritis,
Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan kajian Iebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah, yang diharapkan dapat memberikan perkembangan bagi pengembangan hukum pidana Indonesia, khususnya di bidang konsepsi pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana perkosaan. Dengan kata lain, temuan dan penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran yang menyoroti dan membahas tentang pemidanaan sebagai upaya perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana perkosaan.
2)      Manfaat praktis,
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan:
a)      sebagai bahan kajian dan masukan bagi semua komponen dalam merumuskan model kebijakan hukum pidana yang integral dan komprehensif, khususnya yang menyangkut tentang konsepsi pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana perkosaan.
b)      Sebagai bahan kajian dan masukan bagi pemerintah selaku pengambil kebijakan dalam melakukan upaya legislatif administratif, sosial dan pendidikan terhadap anak guna mencegah anak menjadi pelaku tindak pidana perkosaan.
c)      Sebagai bahan kajian dan masukan bagi aparat penegak hukum dalam menerapkan hukum di pengadilan (judge mode law) terhadap anak yang melakukan tindak pidana perkosaan.

7.      KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGICA TEORI
1)        Tinjauan tentang Putusan Pengadilan
a.      Pengertian Putusan Pengadilan
Pentingnya pengertian putusan pengadilan diberikan dalam pembahasan ini adalah untuk sekedar membantu dalam menentukan secara jelas batas-batas yang dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan cara pandang. Menurut ketentuan Pasal 1 butir 11 KUHAP, menyatakan bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang­-undang ini.
Berdasar sejauh mana suatu perkara diperiksa oleh hakim, maka menurut Pasal 182 ayat (3) dan ayat (8) KUHAP terdapat dua jenis putusan:
a)      Putusan akhir, yaitu putusan yang dijatuhkan hakim dalam perkara yang bersangkutan, diperiksa sampai dengan selesai materi perkaranya.
b)      Putusan sela, yaitu putusan yang dijatuhkan hakim apabila perkara yang diperiksa belum memasuki materinya.
Kaitannya dalam penelitian ini, jenis putusan yang dibahas adalah putusan akhir. Mengenai putusan akhir, putusan ini bersifat mengakhiri perkara dan menentukan status terdakwa selanjutnya. Putusan akhir ini baru dapat dijatuhkan oleh hakim setelah seluruh rangkaian pemeriksaan dipersidangan selesai. Suatu perkara pidana setelah dilakukan pembuktian, tuntutan pidana, pembelaan, replik dan duplik maka hakim harus dapat memberikan putusan setelah musyawarah.
b.      Bentuk-bentuk Putusan Pengadilan
Ada 3 (tiga) bentuk putusan pengadilan yang diatur dalam KUHAP yakni pada Pasal 191 dan Pasal 193 yaitu:
a)      Putusan bebas,
Putusan bebas adalah putusan yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa apabila dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Menurut Lilik Mulyadi, pada asasnya, esensi putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwaan.
b)      Putusan lepas dan segala tuntutan hukum,
Dasar hukum dari putusan ini rival dilihat pada Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Dari bunyi di atas, dapat diartikan bahwa putusan hakim berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan di sidang pengadilan temyata menurut pendapat majelis hakim perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana.
c)      Putusan pemidanaan.
Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Jika Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”. Selanjutnya apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan.
c.       Teori-teori Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan terhadap Terdakwa
Tugas hakim selain bersifat praktis rutin, juga bersifat ilmiah. Sifat tugas hakim yang demikian ini, membawa konsekuensi bahwa hakim harus selalu mendalami perkembangan ilmu hukum dan kebutuhan hukum masyarakat. Dengan cara itu, akan memantapkan pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar penyusunan putusannya. Dengan cara ini pula hakim dapat berperan aktif dalam reformasi hukum yang sedang dituntut oleh masvarakat saat
Pertimbangan hakim itu dapat berupa hal yang telah diatur dalam KUHP maupun berdasarkan hal-hal lain yang tidak diatur dalam KUHP. Perihal yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara di luar KUHP dapat berupa penilaian lain yang sifatnya mengacu pada kebijakan kemanusiaan atau hal lain yang karena sifatnya dapat meringankan atau mernberatkan terdakwa dalam penjatuhan sanksi.
Selain itu, sebuah putusan hukum dalam kasus-kasus pidana tidak semata-mata disebabkan oleh perbuatan jahat pelaku, tetapi juga untuk melindungai masyarakat. Dengan adanva kejadian tersebut, timbul pertanyaan dalam pemikiran kita mengenai faktor-faktor apa sajakah yang menjadi pertimbangan hakim dalam menemukan berat ringannya pidana yang dijatuhkan.
a)      Teori absolut atau teen pembalasan (retributive/ vergeldings theorieen),
Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanva atau terjadinya kejahatan itu sendiri
b)      Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/duel theorieen)
Dasar dari pemidanaan pada teori ini adalah agar orang tersebut setelah dipidana dapat menjadi lebih baik dan berguna bagi masyarakat.
c)      Teori gabungan
Menurut teori ini, tujuan pemidanaan itu mencakup baik pembalasan maupun penjeraan dan pencegahan sekaligus juga untuk memperbaiki mentalitas si pelaku tindak pidana. Sehingga tujuan pemidanaan dari teori ini, selain disebabkan orang telah melakukan perbuatan pidana, juga supaya orang jangan sampai melakukan perbuatan pidana. Jadi pada hakikatnya, ketiga teori
Mengenai tujuan pemidanaan tersebut bertujuan untuk menciptakan ketertiban, memberikan rasa keadilan, serta mengatur hubungan baik antar individu dalam masyarakat agar dapat hidup dinamis, aman, tenteram, tertib, dan damai.
Selanjutnya, hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa sebagaimana telah dikemukakan di atas, dapat berupa hal yang telah diatur dalam KUHP maupun berdasarkan hal-hal lain yang tidak diatur dalam KUHP.
2)      Tinjauan tentang Tindak Pidana Perkosaan
a.       Pengertian Tindak Pidana Perkosaan
Kata perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Poerwadarminta, pengertian perkosaan dilihat dari etiologi/asal kata dapat diuraikan sebagai berikut:
Perkosa         : gagah; paksa; kekerasan; perkasa.
Memperkosa : rnenundukkan dan sebagainya dengan kekerasan;
Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana perkosaan adalah suatu interaksi, yaitu hubungan kelamin (penetrasi) yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang wanita yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman, dimana perbuatan tersebut telah diatur dalam perundang-undangan sebagai suatu tindak pidana dan kepadanya dapat dijatuhi hukurnan
b.      Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan
Secara yuridis tindak pidana perkosaan dirumuskan dalam Pasal 285 KUHP. Di dalam Pasal 285 KUHP tersebut disebutkan bahwa: “barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Pembicaraan mengenai tindak pidana perkosaan dihadapkan pada batasan undang-undang tentang perkosaan yang mencerminkan budaya dominasi pria terhadap wanita. Hal ini membawa implikasi dalam upaya perlindungan terhadap korban. Undang-undang yang ada sekarang dinilai lebih melindungi kepentingan pria dibandingkan wanita sebagai korban. Pendapat seperti ini muncul karena di dalam undang-undang mensyaratkan terjadinya perkosaan dengan adanya penetrasi vagina dari pelaku. Sementara itu perbuatan pelaku dengan memaksakan hubungan anal dan oral serta memasukkan benda-benda lain seperti jari atau botol ke dalam vagina tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perkosaan.
Di dalam RUU KUHP tersebut juga dirumuskan bahwa dianggap melakukan tindak pidana perkosaan:
a)      Seorang laki-laki memasukkan alai kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan,
b)      Barang siapa memasukkan benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus seorang perempuan.
Berdasarkan rumusan tindak pidana perkosaan dalam RUU KUHP tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perkosaan adalah tindakan pemaksaan hubungan seksual dari laki-laki kepada perempuan. Pemaksaan hubungan seksual tersebut dapat berupa ancaman secara fisik maupun secara psikologis. Hubungan seksual antara pelaku dan korban tidak hanya berupa penetrasi vaginal, akan tetapi meliputi pemaksaan hubungan secara anal dan oral.
c.       Unsur-unsur Tindak Pidana Perkosaan
Di dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: “barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, perkosaan disini digolongkan sebagai tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh laki­laki (male crime) terhadap wanita yang bukan istrinya (exstra marital crime) dan persetubuhannya pun harus bersifat intravaginal coitus.
3)     Tinjauan tentang Anak
a.      Pengertian Anak
Sebelum membahas tentang anak sebagai pelaku tindak pidana perkosaan haruslah dahulu mengetahui pengertian anak. Berbicara masalah pengertian anak tentu saja tidak akan lepas dari pembahasan tentang batas umur anak (batas umur untuk disebut seorang anak). Pembicaraan pengertian anak yang menyangkut batas usia anak ini penting, karena untuk mengetahui bilamana seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau di ancam dengan pidana atau tindakan tertentu.
Mengenai batas umur dan istilah seorang anak masih ada ketidakseragaman pendapat, baik dari beberapa pakar maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.

8.      METODE PENELITIAN
1)      Metode Pendekatan
Berdasarkan masalah yang akan diteliti, metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum normatif (yuridis normatif), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti atau mempelajari masalah dilihat dan segi aturan hukumnya, meneliti bahan pustaka atau data sekunder5.
Sebagai suatu penelitian hukum normatif, penelitian ini akan menelaah kerangka pikir untuk menjelaskan konsepsi pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana perkosaan baik yang diatur dalam KUHP maupun dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak serta Undang­-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

2)      Spesifikasi Penelitian
Deskriptif dalam penelitian maksudnya untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala hal, khususnya yang berkaitan dengan putusan hakim terhadap tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh anak di wilayah hukum PN Jepara.
Sedangkan analitis mengandung makna mengelompokkan, menghubungkan, menjelaskan dan memberi makna pada pokok permasalahan yang akan dianalisis sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas terhadap permasalahan tersebut.
3)      Metode Penentuan Sampel
Sebelum menentukan metode penentuan sampel dalam suatu proses penelitian, maka haruslah terlebih dahulu mengetahui populasi yang akan diteliti dalam proses penelitian tersebut.
Berdasarkan pengertian tentang populasi maka populasi dalam penelitian ini adalah pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, khususnya dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang RI No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang­-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana peraturan perundang-undangan tersebut merupakan dasar hukum yang rnengatur tentang perkara pidana anak yang melakukan tindak pidana perkosaan.
Dalarn penelitian ini tidak semua populasi sebagaimana disebutkan di atas akan diteliti, namun akan diambil sampelnya. Sampel adalah sebagian individu atau wakil populasi yang diteliti berdasarkan pada asumsi bahwa sumber informan tersebut memahami permasalahan penelitian yang telah ditetapkan. Pemilihan sampel representatif diperlukan suatu metode penentuan sampel. Hal ini bertujuan untuk menentukan bagian-bagian yang akan diteliti atau yang mewakili populasi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah beberapa putusan PN Jepara dalam perkara tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh anak, dengan ketentuan bahwa putusan-putusan pengadilan dalam perkara tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inicrachi). Selanjutnya, pihak yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah beberapa Hakim di PN Jepara, yang dapat dimintai keterangannya tentang alasan-­alasan yang dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana perkosaan.
4)      Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah:
a.      Studi kepustakaan (library research),
Studi pustaka ini dilakukan dalam rangka mengumpulkan data sekunder, mengingat penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif, maka sumber data utama adalah data sekunder. Data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan, yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum.
b.      Wawancara (Interview)
Wawancara ini dilakukan dalam rangka mengumpulkan data primer melalui para responden sebagai data penunjang. Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan, yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan (field research), baik dari responden maupun informan.
Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur, yaitu wawancara yang didasarkan pada teks dan aturan-aturan dasar yang ada baik secara formil maupun materil, dan berdasarkan permasalahan-permasalahan yang terjadi di lapangan. Agar hasil wawancara nantinya memiliki nilai validitas dan reabilitas, dalam berwawancara peneliti menggunakan alat berupa pedoman wawancara atau interview guide.
c.       Studi dokumentasi
Studi dokumentasi yang dilaksanakan merupakan upaya memperoleh bahan-bahan langsung berupa dokumentasi dari instansi pemerintah yang berwenang dengan pelaksanaan penjatuhan pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana perkosaan, yakni Pengadilan Negeri Jepara. Hal ini dilakukan oleh karena kemungkinan besar tidak semua bahan-bahan yang diperlukan dapat diperoleh atau tersedia di perpustakaan.
5)      Metode Analisa Data
Metode analisa data adalah tahap yang penting dalam menentukan suatu penelitian. Analisa data dalam suatu penelitian adalah menguraikan atau memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan data yang diperoleh kemudian diolah kedalam pokok permasalahan yang diajukan terhadap penelitian yang bersifat deskriptif.
Metode analisa data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu cara menganalisa data dengan mendeskripsikan dan menganalisis materi isi dan keabsahan data hasil studi lapangan sebagai sumber data penunjang, sehingga diperoleh gambaran tentang suatu peristiwa dalam masyarakat, dalam hal ini adalah tentang putusan hakim terhadap anak yang melakukan tindak pidana perkosaan di wilayah hokum Pengadilan Negeri Jepara.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar